[-Melawan Fitnah-]
JARINGAN IBLIS LIBERAL

 

 

Tragedi Adopsi Peradaban Barat

 

Adopsi peradaban dan kebudayaan Barat adalah sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan banyak terkooptasi oleh peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan hidup 

Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, Phil *

Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam.

Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).

Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya.

Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.

Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.

Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya.

Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada asumsi bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca: Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mempelajari tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.

Esensi Kebudayaan Barat

Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, seperti Samuel Huntington, memasukkan agama (religion)--dalam hal ini Kristen--sebagai unsur penting yang membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (1996).

Mungkin itulah di antara sebabnya mengapa Huntington yang dalam bukunya itu lebih banyak menguraikan soal kebudayaan dalam dimensi politis, mencoba menyeret konflik antara Islam dengan Kristen. Namun, kesimpulan Huntington itu patut diragukan. Kristen di Barat, faktanya, lebih banyak terkooptasi oleh peradaban Barat (westernized). Berbagai konsep teologi dan upacara ritual Kristen bahkan sudah menjadi “Barat”. Pusat agama ini pun bukan lagi di tempat kelahirannya (Palestina), tetapi sudah berpindah ke Barat. Di Barat sendiri kalangan agamawan Kristen juga suka dengan asumsi “Barat itu Kristen”.

Barat dengan filsafat dan kebudayaannya memiliki karakternya tersendiri. Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat memiliki sejumlah ciri. Pertama, berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat itu menjelma menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, manusia adalah tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis.

Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001).

Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui berbagai gerakan kultural; filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia.

Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi. Postmodernisme sebenarnya tidak lain dari sekularisme yang tampil dengan wajah baru yang “pusat gravitasinya” adalah pandangan hidup Barat (Western worldview).*

Cengkeraman Orientalis

Dalam bidang pemikiran Islam, pengaruh p andangan hidup Barat dapat ditelusuri melalui sejarah panjang orientalisme yang sebenarnya tidak lepas dari misi kolonialisme dan kristenisasi. Bahkan awalnya dapat ditelusuri dari proses transmisi khazanah pemikiran Islam ke Barat melalui penerjemahan karya-karya filosof Muslim pada abad ke-8 dan 9 ke dalam bahasa Latin. Tokoh-tokohnya adalah para teolog Kristen seperti Charles Bernet, Peter Pivortim, Robert Charter, Bruno, dan lain-lain.

Itu pula yang terjadi dalam penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin. Ini dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the Venerable, Kepala Gereja Clugny. Pekerjaan ini segera diikuti oleh penerjemahan dan penulisan buku-buku Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains. Khazanah ilmu pengetahuan Islam ini ditransfer ke dalam alam pikiran Barat dan tanpa menyebut sumbernya.

Bahkan Thomas Aquinas jelas-jelas terbukti menjiplak beberapa fragmen pemikiran Al-Farabi hanya dengan mengedit beberapa kata. David Hume memodifikasi doktrin kausalitas Al-Ghazzali menjadi bersifat atheistik.

Terjadilah proses westernisasi (pem-Barat-an) besar-besaran, persis seperti ketika ulama-ulama Islam mentransfer beberapa pemikiran Yunani dengan proses Islamisasinya. Ini berarti bahwa orang-orang Barat-Kristen itu memahami Islam berdasarkan pandangan hidup mereka. Usaha pembaratan itu meliputi konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi.

Hal di atas hanyalah sedikit contoh betapa Islam yang ditransfer ke Barat telah diubah atau dipahami secara berbeda dari aslinya. Tidak mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat negatif. Dan ciri-ciri itu masih tetap melekat pada karya-karya para orientalis di zaman modern ini. Lihat saja karya-karya seperti Approach to the History of the Interpretation of the Qur'an oleh Andrew Rippin, Qur'anic Studies: Sources and Methods of Interpretation oleh John Wansbrough, The Origin of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht; Islamic Creed oleh MW Watt, dan lain-lain.

Sebagai contoh adalah buku Islamic Fundamentalism and Modernity tulisan Watt. Ia menyatakan bahwa agar terbebas dari kesalahan dan kepalsuan, dan untuk memposisikan secara benar Islam di tengah dunia kontemporer, maka rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam adalah suatu keharusan. Rekonstruksi pandangan hidup Islam adalah pernyataan berunsur pembaharuan dan boleh jadi menarik minat cendekiawan Muslim. Namun sejatinya ia penuh bias.

Lebih jauh Watt mengatakan, “… dan untuk itu hal-hal yang tidak penting dan sekunder dalam masalah keimanan harus dibuang.” Ternyata , apa yang bagi Watt tidak penting itu adalah pengingkaran Al-Qur`an tentang penyaliban dan kematian di tiang salib, dianggap kesalahan sejarah dan tidak penting.

Richard Bell, penulis Introduction to the Qur`an, membuat susunan Al-Qur`an sesuai dengan turunnya ayat-ayat itu dan kemudian mengkritik bahwa Al-Qur`an adalah karangan Nabi Muhammad. Alasannya, susunan yang sekarang ini atas perintah Muhammad, bukan berdasarkan pada kronologi diwahyukannya.

Sekarang ini, framework (cara pandang) orientalis terhadap Islam yang seperti itu sangat dominan dalam program kajian Islam di beberapa universitas Barat.

Padahal di situlah banyak calon sarjana Muslim belajar. Pemikiran para orientalis dengan framework seperti itu kemudian dijadikan referensi yang sederajat dengan ulama-ulama dalam tradisi Islam.

Demikianlah selanjutnya, bola salju cengkeraman cara pandang ini terus bergulir bersama angin westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dalam bidang-bidang lain. Warna orientalis itu nampak pada beberapa cendekiawan Muslim alumni lembaga pendidikan Barat atau murid alumni Barat. Pendekatan kajian Islam yang bersifat dikotomis memisahkan antara yang historis dan normatif, antara tekstual dan kontekstual, subjektif-objektif, ideal-real adalah asli cara pandang Barat.

Kondisi di aras berengaruh pada tataran konsep berupa timbulnya tumpang tindih antara konsep Islam dan Barat yang bermuara pada kebingungan intelektual (intellectual confusion). Sebagai contoh, demokrasi dianggap sama dengan syura, al-din disamakan dengan religi, masyarakat madani dianggap sama dengan civil society, insan kamil disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid dianggap sama dengan modernisasi/rasionalisasi, dan sebagainya.

Tidak cukup hanya sebatas pengacauan konsep, kini Barat maju beberapa langkah lagi dengan memperkenalkan ide pluralisme agama (religious pluralism), kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions), yang didukung oleh konsep global ethic dan dipacu oleh dialog antar-agama, gender, feminisme, dan lain-lain.

Framework Islam

Contoh di atas hanyalah simplifikasi persoalan dan dapat dijelaskan lebih komprehensif. Memang masalahnya tidak sederhana, karena orientalisme itu telah mentradisi dan kebanyakan tulisan mereka memenuhi standard kersarjanaan modern yang diakui.

Tugas kaum Muslim sekarang di samping merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis, juga mengembangkan cara pandang kita sendiri. Meski tetap harus bersikap apresiatif dan bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil riset para orientalis itu yang positif. Lebih-lebih dalam men-takhrij suatu makhtutat (manuskrip) yang kini masih sangat jarang dilakukan sarjana-sarjana Muslim, padahal jumlah makhtutat itu ada ratusan ribu. Yang penting di sini adalah perlunya kesadaran dalam diri kita bahwa ummat Islam dengan pandangan hidupnya memiliki cara pandang yang berbeda dari para orientalis.

Mengkaji Islam dengan cara pandang Islam sendiri tidak cukup dengan artikel-artikel atau wacana-wacana lepas dan dialog serta seminar di media massa yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual.

Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang profesional-akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-tradisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, dan konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan peradaban yang kokoh itu. Dari situ dengan sikap kreatif dan progesif dapat dikembangkan cara pandang pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang dihajatkan oleh ummat saat ini.

Perlu pula dikaji esensi dan karakter kebudayaan Barat yang kini menjadi fenomena yang persuasif dalam cara berpikir ummat Islam. Esensi kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat itu perlu dibedakan dengan peradaban Islam yang berlandaskan pada wahyu.

Perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal-usul suatu konsep dan pemikiran, untuk kemudian mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadopsi atau ditolak. Inilah yang disebut dengan proses Islamisasi yang sesungguhnya.

Islamisasi pada level epistemologis berarti pengislaman cara berpikir kita dalam memahami objek ilmu (al-ma'lum) dengan meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tauhidi. Pada level kultural dapat berbentuk adaptasi pemikiran luar dengan cara pandang hidup Islam. Jika ini dikembangkan di kalangan cendekiawan Muslim, maka kita tidak perlu lagi bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi cenderung kritis pada level intelektual.

* Penulis adalah Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia. Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.

::BACK TO HOME::