[-Melawan Fitnah-]
JARINGAN IBLIS LIBERAL

 

 

Menyoroti Studi Teks Al-Qur’an di Barat

 

Sungguh disayangkan lahirnya sarjana Islam penganut orientalis dan harus membuang energi untuk mengorek-orek otentisitas Al-Qur'an. Perkara yang sudah selesai jelas dan tuntas

Oleh

DR.Syamsuddin Arif,MA  *

Beberapa waktu lalu seorang staf Paramadina menulis catatan di media yang isinya mengkritik buku Profesor Muhammad Mustafa Azami, The History of the Qur'anic Text: from Revelation to Compilation (2003). Menurut dia, Profesor Azami "tidak masuk ke jantung perdebatan diskursif yang berkembang di Barat, sehingga gagal merespons secara intelektual isu-isu penting dalam studi kaum orientalis tentang Al-Qur'an."

Staf Paramadina ini agaknya belum membaca buku tersebut secara keseluruhan, sehingga terkesan tidak adil dan tergesa-gesa dalam memberikan penilaiannya. Ia gagal menangkap objektif utama karya Azami, yang dimaksudkan untuk menjawab tiga pertanyaan penting (hlm. 12): Pertama, apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an? Kedua, apabila suatu saat ditemukan lagi naskah tulisan tangan (manuskrip) berisi sebagian atau seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, namun berbeda dengan versi yang sudah ada, apakah dampak penemuan itu terhadap teks Al-Qur’an? Dan ketiga, soal otoritas. Siapakah yang berhak dan layak untuk mengatakan sesuatu mengenai Al-Qur’an, Islam dan segala aspeknya? Jadi, tujuan utama Azami adalah menjelaskan sejarah kompilasi dan kodifikasi Al-Qur’an, ketimbang memberikan "respons mendalam dan menyelami korpus kesarjanaan Barat".


Al-Qur’an dalam Studi Barat

Memang benar bahwa korpus kesarjanaan Barat mengenai Al-Qur’an cukup beragam. Tidak semua orientalis berniat jahat hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap Al-Qur’an dan hadits. Ada juga yang konon bermaksud "baik" dan nampak simpati kepada Islam. Beberapa nama pun disebutnya sebagai counter examples. Menurut hemat saya, justru disinilah peneliti Paramadina itu kelihatan lugu (naďve). Jika Profesor Azami melewatkan begitu saja kritik Fred Donner dan William Graham atas tesis Wansbrough, hal itu karena tulisan kedua orientalis tersebut memang tidak diperhitungkan sama sekali pun oleh kalangan spesialis studi Al-Qur’an di Barat sendiri.

Sama seperti Montgomery Watt, Alford Welch atau Kenneth Cragg yang konon banyak menulis karya simpatik, sikap lunak itu justru mengurangi validitas dan kredibilitas karya-karya mereka dimata para koleganya: Kalau para orientalis tersebut memang meyakini kenabian Muhammad SAW, mengakui kebenaran Islam dan keaslian Al-Qur’an , mengapa mereka tidak masuk Islam saja? Kalau cuma sekedar wacana dan basa-basi (lip service), apalagi jika motivasinya demi menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam, maka itu merupakan pelacuran intelektual. Bahwa para orientalis itu masih bertahan dengan agamanya masing-masing, semestinya membuka mata kita agar tidak bersikap lugu dan polos dalam menyikapi tulisan sarjana islamologi Barat.

Membaca korpus orientalis seputar Al-Qur’an memang tidak mudah. Disamping penguasaan pelbagai bahasa (Eropa dan Semitik), terutama sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam atas khazanah intelektual Islam itu sendiri, bukan tahu sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita pas-pasan, amat besar kemungkinan terpukau oleh statemen-statemen yang sekilas meyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun epistemologis.

Tulisan-tulisan sarjana Barat mengenai Al-Qur'an, dari mulai Nöldeke dalam Geschichte des Qorans, Mingana dengan artikelnya "The Transmission of the Kur’an", Jeffery dengan Materials for the History of the Text of the Qur’an, Burton dalam "Linguistic Errors in the Qur’an," hingga Wansbrough dalam Qur'anic Studies, dan terakhir Luxenberg dengan bukunya Die syro-aramäische Lesart des Koran, semuanya bertolak dari skeptisisme terhadap status Al-Qur'an sebagai dukumen sejarah. Bagi mereka Muhammad SAW itu seorang impostor, bukan nabi, Al-Qur'an itu hasil karangan Muhammad serta tim redaksi sesudahnya, bukan verbum dei .

Nah, presuposisi dan skeptisisme inilah yang memandu riset dan studi mereka. Akibatnya, mereka seringkali mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence).

Skeptisisme para sarjana Barat tersebut juga berakibat fatal secara epistemologis. Studi mereka berawal dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Mereka meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Walhasil, meskipun bukti-bukti yang ditemukan membatalkan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya, segala yang menyalahi dan tidak mendukung presuposisi dan misi yang ingin dicapainya akan dimentahkan dan dimuntahkan. Hal ini diakui sendiri oleh Herbert Berg: "the results of their work is dictated by their presuppositions" dan karenanya "the data are made to fit the theory." (Lihat: The Development of Exegesis in Early Islam (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 3 dan 223).


Isu Integritas Teks al-Qur’an

Bahwa diskusi tentang integritas teks Al-Qur’an bukan monopoli kesarjanaan Barat, tapi sudah terjadi pada periode-periode sangat awal dalam Islam adalah benar adanya. Informasi seputar sejarah preservasi, kompilasi, kodifikasi dan transmisi Al-Qur’an telah direkam dan dibahas oleh para ulama terdahulu, dari Abu ‘Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 224H) dalam kitabnya Fadha’il al-Qur’an, Imam al-Baqillani (w. 403H) dalam al-Intishar li-Naqli l-Qur’an, hingga Imam as-Suyuthi (w. 911H) dalam al-Itqan fi ‘Ulumi l-Qur’an, untuk menyebut beberapa saja sebagai contoh. Kitab-kitab tersebut dapat dengan mudah diperoleh dan boleh dibaca oleh siapapun.

Demikian pula adanya berbagai varian bacaan (qira’at) yang hingga kini masih terus dipelajari dan dihafal. Justru itulah Azami bebas menulis bukunya itu. Jadi memang bukan merupakan hal yang tabu untuk diketahui atau didiskusikan. Dari mana lagi para sarjana Barat memperoleh hampir seluruh data-data untuk studinya itu selain dari karya-karya para ulama Islam? Namun jika sumber datanya sama, mengapa kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam? Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Yang disebut pertama bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan. Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani kuno, yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong bongkahan batu ke puncak bukit, lalu membiarkannya jatuh untuk kemudian didorongnya lagi, demikian terus-menerus.

Persoalan yang dikemukakan mengenai sejumlah ayat yang konon ‘missing’ sebelum Al-Qur’an  dikumpulkan, perbedaan antara mushaf Ubayy dan Ibn Mas’ud, dan lain sebagainya sebenarnya telah cukup dijelaskan oleh Azami dalam bukunya itu (lihat bab 6-13). Saya khawatir justru pengkritik itu yang sengaja melewatkan begitu saja penjelasan panjang lebar yang dikemukakan Azami. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah ungkapan ‘serampangan’ diakhir tulisannya bahwa Sayyidina Umar dan sabahat terkemuka dikatakan mengeluh setelah peresmian teks standar Usmani, tanpa menyatakan serta terlebih dahulu meneliti sumber dan kesahihan ‘keluhan’ tersebut. Sebab, Sayyidina ‘Umar ra telah lama wafat ketika Khalifah Utsman ra menggarap proyek kodifikasi dan standardisasi mushaf Al-Qur’an .

Disamping itu, menurut Imam Ibn Katsir (w. 774H), tidak lama setelah kodifikasi dan standardisasi kedua itu rampung, tim ahli yang terdiri dari para penghafal al-Qur’an itu kemudian menyerahkan dan membacakan mushaf standard itu kehadapan para Sahabat Nabi saw, termasuk Khalifah ‘Utsman ra (tsumma quri’at ‘alâ s-Shahabah bayna yaday ‘Utsmân) (Lihat: Ibn Katsir, Fadhâ’il al-Qur’ân, dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7 jilid, Beirut, 1966, 7:450). Laporan umum dan terbuka ini sangat penting, untuk menjamin kesahihan dan kemutawatiran al-Qur’an. Setelah semua ahli dari kalangan Sahabat itu setuju dan sepakat, maka ditulislah beberapa naskah acuan untuk dikirim ke kota-kota Kufah, Basrah, Damaskus, Mekkah, Mesir, Yaman, Bahrain, dan al-Jazirah. Dan sebuah naskah disimpan oleh Khalifah ‘Utsman ra di Madinah (Lihat: Imâm Abu ‘Amr ad-Dânî, al-Muqni‘, hlm.19 dan al-Ya‘qubi, Târikh, I:170).

Sungguh amat disayangkan jika kaum Muslim kini harus terbuang energinya untuk mengorek-orek perkara yang sudah selesai jelas dan tuntas. Jauh lebih baik jika mereka berusaha memahami, mengamalkan dan ‘membumikan’ Al-Qur’an ketimbang menggugat historisitas dan otentisitasnya.

* Penulis adalah doktor bidang pemikiran Islam. Kini sedang studi program Phd keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt Jerma

::BACK TO HOME::